Rukyatul Hilal LDII

Pelatihan Rukyatul Hilal LDII

Untuk menindaklanjuti kerjasama dengan Kementrian Agama RI dalam pelatihan hisab rukyat hilal di Jakarta pada 22-23 Pebrari 2013 yang lalu, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) telah membeli 5 unit teropong dan sekaligus mengadakan pelatihan penggunaan teropong untuk pengelihatan hilal.

Pelatihan Rukyatul Hilal dilakukan pada tanggal 27-28 April 2013 lalu di Observatory Bosscha, Bandung. Pelatihan penggunaan teropong tersebut atas kerjasama antara LDII, pihak Supllier Teleskop dan pihak Observatory Bosscha, Bandung.

Aneka Perbedaan Pendapat Tentang Rukyatul Hilal


Perbedaan pendapat tentang rukyatul hilal, barangkali tak pernah kunjung selesai sampai kapanpun. Tapi manakala kita berlapang dada dan tetap menghargai perbedaan yang ada, namun bila secara bersama kita mengedepankan kebersamaan dan kesatuan langkah dalam hal ini, kemudian mengesampingkan perbedaan dalam arti bukan mempertajam. Insya Allah hasil capai yang diinginkan akan menunjukkan angka yang positif. Sekedar ilustrasi ada baiknya penulis urai perbedaan-perbedaan yang mengemuka dengan kriteria-kriteria tertentu yang digunakan sebagai penentu awal bulan pada kalender hijriyah selama ini sebagai berikut :

1.     Rukyatul Hilal.

Rukyatul Hilal adalah kriteria penentu awal bulan kalender hijriyah dengan cara merukyah (mengamati) hilal  secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari. Kriteria ini berpegangan pada hadits Nabi Muhammad :

“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)”.

Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasul dan para shahabatnya dan mengikuti ijthad para ulama  empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan hijriyah.

2.     Wujudul Hilal.

Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip : Ijtimak(konjungsi) telah terjadi sebelum matahari terbenam (ijtima’ qablal qhurub), dan bulan terbenam setelah matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) bulan saat matahari terbenam.

Kriteria ini di Indonesia digunakan Oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha untuk setiap tahunnya.

Akan tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria Wujudul Hilal lagi, tetapi menggunakan methode Imkanur-rukyah. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak, tetapi hisab wujudul hilal dapat dijadikan penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al Qur’an pada  Q.S.Yunus : 5. QS.Al Isra’: 12, QS.Al An’am : 96, dan QS.  Ar Rahman : 5 serta penafsiran Astronomis atas QS. Yasin : 36 – 40

3.     Imkanur – Rukyat

    Imkanur rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darusssalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah.

HISAB DAN RUKYAT HILAL

Penjelasan tentang hisab dan rukyat hilal
HISAB adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender hijriyah.

Secara harpiyah Hisab berati perhitungan. Dalam dunia Islam  istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi.

Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan ummat Islam dalam menentukan masuknya waktu shalat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat memulai berpuasa, awal Syawal (‘Idul Fithri), serta awal Dzul Hijjah untuk menentukan saat jama’ah haji wuquf di ‘Arafah (9 Dzul Hijjah) dan ‘Idul Adha (10 Dzul Hijjah).

Di dalam al Qur’an Surat Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa Tuhan sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar Rahmaan (55) ayat 5 menyebutkan bahwa matahari dan bulan bredar menurut perhitungan.

Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan benda-benda langit (khususnya matahari dan bulan), maka sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom muslim yang telah mengembangkan methode Hisab modern adalah AL BIRUNI (973 – 1048 M ), IBNU TARIQ, AL KHAWARIZMI , AL BATANI  dan HABASAH.

Bahkan dewasa ini, methode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi  yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (sofwere) yang praktis juga telah ada.

RUKYAT adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan tsabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya Ijtima’ (konjungsi), rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.

Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah matahari terbenam (maqhrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibandingkan dengan cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis.

Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maqhrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maqhrib hari berikutnya.

Namun demikian dari pengalaman selama ini tidak selalu hilal dapat terlihat. Dalam teori manakala selang waktu antara Ijtima’ dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, maka secara ilmiyah hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya bulan masih terlalu suram di bandingkan “ cahaya langit” sekitarnya.
Kriteria DANJON (1932 – 1936) menyebutkan  bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara bulaan matahari sebesar 7 derajat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kewajiban Bersyukur

Tri Sukses Generus LDII

Perjalanan Ibadah Tawaf dan Umroh