Sosok KH Nurhasan Pendiri LDII Di Ponpes Jamsaren

Sosok KH Nurhasan Pendiri LDII Di Ponpes Jamsaren

Pendiri LDII
Pesantren Tertua Kampusnya Para Pejuang itulah label untuk ponpes jamsaren, dari beberapa pondok pesantren di negeri ini, ada catatan khusus mengenai ponpes Jamsaren di Solo. Ponpes ini banyak yang mengatakan adalah pesantren paling tua di Indonesia sampai saat ini masih bertahan. Banyak tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan dengan berbagai macam bidangnya lahir dari pesantren ini. Pengurus ponpes jamsaren masih mempertahankan keaslian bangunan ponpes tersebut.
Banyak sekali peristiwa yang mecatatkan rekor sejarah pada pesantren kuno ini, dengan banyaknya peristiwa heroik dan mengharu biru sehingga ponpes jamsaren ikut matang dalam gemblengan asam garam perjuangan.
Ponpes Jamsaren berdiri pada tahun 1750 oleh Kiyai Jamsari, asal Banyumas.Beliau mendapat undangan khusu dari Raja Keraton Surakarta kala itu, Susuhunan Paku Buwono IV, untuk bertempat di Solo untuk mengajarkan ilmu agama kepada para bangsawan keraton, pejabat kerajaan, maupun untuk kalangan umum.

Ketika itu Kiai Jamsari lantas menetap di sebuah kampung kecil sekitar 3 km barat daya keraton. Di situlah beliau mendirikan rumah pribadi dan sebuah masjid kecil. Lama kelamaan banyak yang mulai berdatangan untuk nyantri/berguru kepada beliau, dan banyak juga para santri yang bermukim di tempat kyai Jamsari. Sehingga kawasan tersebut di kenal dengan nama Kampung Jamsaren, yang artinya kampung tempat tinggal Kiai Jamsari. Sekarang berada di Jalan Veteran No 263, Serengan, Solo.
Setelah Kiai Jamsari wafat, estafet kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh Kiai Jamsari II, anak kandungnya. Masa pengasuhan Kiai Jamsari II bersamaan dengan pergolakan besar di tanah Jawa akibat pemberontakan Diponegoro, seorang pangeran dari Keraton Yogyakarta. Pemberontakan ini terus meluas di Jawa Tengah dan Jawa Timur sehingga pergolakan itu terkenal dengan sebutan Perang Jawa (1825-1830).
Meskipun tidak ada dukungan secara resmi dari pihak keraton, namun sejumlah kerabat sang pangeran dari Keraton Yogyakarta turut membantu perjuangan Diponegoro. Sedangkan Keraton Surakarta di bawah Susuhunan Paku Buwono VI secara resmi memberikan dukungan dana dan pasukan.
Sedangkan kekuatan paling menentukan pada perjuangan Diponegoro adalah dukungan massif para kiai di berbagai daerah. Mereka yang memberikan perlindungan dan bantuan bala pasukan di berbagai daerah medan pertempuran. Salah satu pendukung utama Diponegoro dari kalangan ulama adalah Kiai Jamsari II dari Solo, selain nama-nama ulama terkenal lain seperti Kiai Mojo (Solo), Kiai Yahudo (Magelang), Kiai Imam Rozi (Klaten) dan lain-lainnya.
Setelah perang Diponegoro berhasil dipadamkan, Belanda melakukan penangkapan dan pengasingan terhadap para tokoh pemberontakan. Diponegoro diasingkan ke Sulawesi Selatan, Paku Buwono VI diasingkan ke Ambon, Sentot Prawirodirjo diasingkan ke Sumatera Selatan, Kiai Mojo dan sejumlah kiai lainnya yang tertangkap diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara.
Banyak kiai yang diburu dan ditangkapi. Banyak pula pesantren yang dibumihanguskan karena tuduhan menyembunyikan ekstrimis, sebutan untuk para pendukung Diponegoro. Dalam kondisi itulah Kiai Jamsari II beserta keluarga dan seluruh santrinya memutuskan untuk meninggalkan pesantren, tanpa diketahui secara pasti dimana tempat mereka bermukim setelahnya. Bahkan hingga saat ini tidak diketahui pasti dimana makam Kiai Jamsari II.
"Pada masa itu banyak kiai yang memilih melakukan 'uzlah, yaitu menyepi atau menjauh dari keramaian duniawi. Pertimbangan 'uzlah itu bisa saja untuk fokus pada kaderisasi dan pembinaan umat. Bisa juga karena pertimbangan kemaslahatan yang lebih besar. Sepertinya yang dilakukan Kiai Jamsari II adalah karena pertimbangan yang terakhir," ujar cendekiawan muslim, KH M Dian Nafi'.
Kompleks dan bangunan pesantren itu kemudian kosong dan terbengkalai hampir selama 50 tahun, hingga akhirnya seorang ulama dari Klaten yang mengurusnya. Ulama itu adalah Kiai Idris, salah seorang keturunan dari Kiai Imam Rozi yang merupakan sahabat akrab Kiai Jamsari II.
Sejak tahun 1878, Kiai Idris kembali membangun dan mengembangkan Pesantren Jamsaren. Di masa pengasuhan Kiai Idris pula, Jamsaren menjadi salah satu rujukan pesantren di tanah air. Ribuan santri dari berbagai penjuru Asia Tenggara datang berguru kepada kiai yang dikenal sangat 'alim dan juga seorang mursyid Thariqah Sadziliyah tersebut.
Di antara nama-nama besar yang pernah nyantri Kiai Idris adalah Kiai Mansyur (pendiri Ponpes Al-Mansyur Klaten), Kiai Dimyati (pendiri Ponpes Termas, Pacitan), Syeich Ahmad al-Hadi (tokoh Islam kenamaan di Bali), Kiai Arwani Amin (Kudus), Kiai Abdul Hadi Zahid (pengasuh Ponpes Langitan, Tuban).
Sepeninggal Kiai Idris pada tahun 1923, nama besar Jamsaren masih menjadi rujukan bagi para orangtua untuk mengirim anaknya nyantri. Tokoh sentral yang terakhir memimpin pesantren ini adalah KH Ali Darokah yang wafat tahun 1997. Selanjutnya, Jamsaren dipimpin oleh sebuah dewan sesepuh di bawah payung Yayasan Jamsaren. Sedangkan pelaksana keputusan dilaksanakan oleh pengurus yang dipimpin seorang direktur.
Sedangkan tokoh-tokoh pejuang di berbagai bidang yang pernah menuntut ilmu di Jamsaren pada generasi setelah Kiai Idris diantaranya adalah Munawir Sadzali (mantan Menteri Agama), Amien Rais, KH Zarkasyi (pendiri Ponpes Gontor Ponorogo), KH Hasan Ubaidah ( pimpinan dan pendiri  LDII ) serta sejumlah nama lainnya.
Kalau berkesempatan untuk berkunjung ke pesantren kuno seluas 3.400 meter persegi tersebut, jangan lewatkan memasuki masjid kuno yang berada paling depan areal pesantren. Seluruh soko guru masjid dan kayu kerangka utama bangunan masih dipertahankan keasliannya seperti ketika dibangun oleh Kiai Jamsari dan dirawat dengan baik oleh pengelola pesantren.
Ada bangunan yang masih dipertahankan keasliannya yaitu rumah kediaman atau ndalem kiai yang saat ini dihuni oleh Nyai Siti Aminah Ali Darokah dan bangunan rumah di depannya yang kini dimanfaatkan sebagai gedung raudatul athfal (RA) atau taman kanak-kanak.
"Pada bangunan tersebut yang asli sejak didirikan adalah kayu-kayu penyangga utama bangunannya. Sedangkan dinding tembok adalah renovasi dari jaman ke jaman. Bangunan masjid juga telah ditinggikan. Sedangkan dinding dalam bangunan kediaman kiai juga masih kami pertahankan," ujar Suntoro, Kepala Kesekretariatan Ponpes Jamsaren.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kewajiban Bersyukur

Tri Sukses Generus LDII

Perjalanan Ibadah Tawaf dan Umroh