Jangan Ajari Anak Berbohong

Jangan Ajari Anak Berbohong

Masih kecil sudah bohong? Jangan keburu panik jika hal itu terjadi pada anak, cucu, atau keponakan Anda. Pahami perilaku itu, dan Anda akan menemukan solusi agar anak berbohong tidak menjadi kebiasaannya hingga dewasa. Dan yang paling penting, jangan Anda pun jangan pula berbohong.

KETIKA ditanya ayahnya siapa yang mengobok-obok akuarium hingga beberapa ikan di dalamnya mati, Tony menjawab, "Nggak tahu.” Anak berusia lima tahun itu, malah bilang, "Embak ‘kali Pa, Tony nggak tahu.” Dia mencoba mengarahkan perhatian ayahnya kepada pembantu yang sehari-hari mengasuhnya.
Tentu saja sang ayah tahu bahwa Tony telah berbohong. Apalagi di rumah itu tidak ada orang lain kecuali anak keduanya yang baru berusia 2 tahun dan pembantu rumah tangga mereka.
Yang membuat pasangan muda itu resah adalah kenapa anak mereka yang masih kecil sudah bisa berbohong, belajarnya dari mana, apakah hal itu merupakan pertanda bahwa anak akan menjadi orang jahat kalau dewasa, dan seterusnya. "Masih kecil sudah mulai berbohong, bagaimana nanti kalau besar?” tanya ayah Tony dengan nada khawatir.
"Tidak usah terlalu khawatir, belum tentu itu merupakan pertanda perilaku yang menyimpang,” ujar M. Nilam Widyarini, MSi., kandidat doktor bidang psikologi dari Universitas Gadjah Mada. Namun, bisa dimengerti, menghadapi anak berbohong, orangtua maupun guru di sekolah menjadi khawatir. Jangan-jangan hal itu merupakan kebiasaan yang akan memburuk jika anak semakin besar.

Harus diakui, anak belajar berbohong dari lingkungan terdekatnya. Seringkali tanpa sadar, bahkan orangtua sendiri yang "mengajarkan” berbohong kepada anak-anak.
Ambilah contoh, ketika Anda sedang tidak ingin menerima telepon atau tidak ingin menerima tamu, Anda berkata apa? “Tolong bilang saya sedang tidak ada di rumah!” atau mungkin Anda berpesan, "Bilang saja saya lagi tidur, tidak bisa diganggu.”
Dari situ, diam-diam anak Anda belajar bahwa kalau sedang tidak ingin menghadapi sesuatu, kita bisa memberikan penjelasan lain yang tidak sesuai dengan kenyataan. Bahkan kadang anak justru “menegur”, mungkin dengan berkata, “Papa ‘kan ada di rumah, kok bilang nggak ada di rumah?” atau “Mama nggak tidur, kok bilangnya tidur?” Bermacam-macam cara orangtua berkelit jika mendapat “teguran” semacam itu.
Menurut DR. Magda Stouthamer-Loeber dari Universitas Pittsburg, AS, dalam Clinical Psychology Review, sejumlah studi memang menunjukkan bahwa kita tidak perlu terlalu khawatir jika mempunyai anak berbohong. Kita baru perlu khawatir bahwa berbohong akan menjadi pertanda problem perilaku di masa depan kalau berbohong itu dibarengi dengan perilaku negatif lain seperti mencuri, berkelahi, dan kabur dari rumah.
Sebuah riset menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga anak perempuan berusia 3,5-6 tahun berbohong. Namun, setelah usia 6 tahun, kurang dari sepertiga yang berbohong. Begitu juga pada anak laki-Laki. Sepertiga dari anak laki-laki berusia 3,5-8 tahun berbohong, tapi setelah berusia 8 tahun kurang dari sepertiga yang berbohong.
Itu berarti bahwa perilaku berbohong itu berlanjut hanya pada lebih sedikit anak. Bahwa semakin bertambah usia anak dan semakin matang kepribadian anak, perilaku berbohong itu tidak lagi dilakukan.
Menurut Stouthamer-Loeber, sebanyak 19 persen orangtua mengakui bahwa anaknya berbohong, dan ada 14 persen guru yang menyatakan muridnya berbohong. Dan ternyata hanya 3 persen anak yang tergolong sebagai pembohong kronis dan betul-betul memerlukan suatu terapi.
Seorang anak melakukan kebohongan biasanya bukan tanpa maksud atau tujuan tententu. Dalam buku Changing Children’s Behavior karya Helen & John Krumboltz antara lain dinyatakan bahwa seorang anak belajar berkata benar atau belajar berkata bohong itu tergantung pada konsekuensi yang akan timbul setelah ia melakukannya.
Bila konsekuensi yang ia dapatkan dari berkata bohong adalah sebuah reward (ganjaran atau hadiah), dapat dipastikan bahwa anak tersebut akan mengulangi berkata bohong lagi. Sebaliknya, jika konsekuensi dari berkata bohong adalah mendapatkan suatu punishment (hukuman), anak akan cenderung untuk berhenti berbohong.
Dengan kata lain, seorang anak berkata bohong karena ia memiliki salah satu dari dua tujuan, yaitu untuk mendapatkan ganjaran, atau untuk menghindari hukuman.
Pada kasus Tony, ia berbohong kepada ayahnya bahwa bukan dirinya yang mengobok-obok akuarium, dengan maksud menghindari hukuman. Anak kadang juga berbohong dengan menegaskan bahwa susu di gelas yang disediakan untuknya sudah dihabiskan, padahal susu tersebut diberikannya kepada kucing. Kebohongan diucapkannya karena tidak mau menerima hukuman.
Adapun ganjaran yang paling umum diharapkan oleh anak-anak yang berbohong adalah supaya mendapatkan perhatian dari orangtua atau dari teman bermainnya. Mungkin Anda pernah mendengar seorang anak berkata kepada temannya bahwa ayahnya punya pesawat terbang, padahal tidak. Ia berbohong supaya menarik perhatian teman-temannya.
Contoh lain adalah anak yang berbohong dengan mengatakan bahwa yang membersihkan tempat tidur adalah dia sendiri, padahal bukan. Ia melakukan kebohongan itu karena ingin mendapat perhatian dari orangtuanya.
Berbohong untuk mendapatkan ganjaran maupun menghindari hukuman, menurut dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, Jakarta, Nilam Widyarini, Msi., tak dapat dibiarkan. Meski demikian, kita tidak perlu terlalu mencemaskannya bahwa hal itu merupakan suatu penyimpangan perilaku.
Jika anak, cucu, atau keponakan Anda berbohong, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu (1) tetapkan konsekuensi yang jelas jika kebohongan dilakukan; dan (2) tunjukkan atau berikan konsekuensi dengan sedikit kata-kata. Misalnya dengan berkata, "Ibu merasa bahwa kamu tidak mengatakan yang sebenarnya, maka seminggu ini kamu tidak boleh nonton teve."
Jika ternyata Anda keliru bahwa sebenarnya anak Anda tidak berbohong, Nilam menyarankan untuk meminta maaf kepadanya. Setelah itu perbaiki perasaannya dengan melakukan sesuatu yang disepakati bersama.
Hal yang juga perlu diperhatikan adalah, sebaiknya Anda tidak membahas kebohongan itu panjang lebar dengan anak pada saat ía berbohong. Salah-salah, hal itu akan membuat anak bingung dan mengira bahwa ía justru mendapatkan perhatian dengan berbohong, sehingga lain kali mungkin malah akan mengulangi berbohong.
Jika Anda merasa perlu memberikan nasihat kepadanya, lakukan beberapa saat kemudian. Dan supaya anak-anak mengulangi berkata jujur, berikanlah pujian ketika ia berkata jujur. Jangan lupa, sesuatu yang menyenangkan cenderung untuk diulangi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kewajiban Bersyukur

Tri Sukses Generus LDII

Perjalanan Ibadah Tawaf dan Umroh