Jakarta (5/1). Media sosial sebagai ruang publik, kini berfungsi pula sebagai pusat informasi, edukasi, hiburan, hingga kontrol sosial. Peran media massa bahkan diimbangi oleh media sosial, bahkan sampai mengubah cara wartawan mencari informasi yang kemudian diolah menjadi berita.
“Persoalannya, media sosial sebagai ruang publik malah ramai
dengan hal-hal yang tidak mendidik. Ini seperti memindahkan sinetron ke media
sosial dan kita nikmati setiap hari dari ponsel kita,” ujar Ketua DPP LDII
Rulli Kuswahyudi.
Rulli mengungkapkan fenomena media massa yang terus jadi pengamatan para pakar komunikasi, beralih ke media sosial. Ia mencontohkan, bila dulu terdapat kajian televisi dan koran menjadi guru atau acuan, kini media sosial mengambil alih posisi tersebut. Ironinya, sambung Rulli, isi media sosial makin sulit dipertanggungjawabkan. Sebagai ruang publik, media sosial banyak sampahnya ketimbang mengedukasi.
“Media massa dengan segala bias atau ketidaknetralannya,
masih menggunakan metode verifikasi, cek ricek dan liputan dua sisi. Sementara
media sosial, semua boleh bicara seolah-olah semuanya pakar. Bisa saja anak SMP
habis baca sesuatu di medsos, mendebat seorang profesor,” pungkasnya.
Persoalan utama, sebagai ruang publik, media sosial sangat
demokratis sekaligus sangat liberal. Sementara pada sisi lain, kontrol dari
pemerintah berupa Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), “Di lain sisi ada pembatasan
kebebasan berekspresi yang menurunkan kualitas demokrasi, namun di sisi lain
bila tidak dikontrol akan membahayakan keutuhan bangsa,” pungkas Rulli.
Bagaimana solusinya? Rulli menyatakan tidak harus meniru
Barat dalam membangun ruang publik yang kontributif. Menurutnya kebebasan
berekspresi di Amerika Serikat dan Eropa kini diuji dengan ketidakpuasan,
“Problem ketidakterwakilan pemilih oleh wakil rakyat di negara-negara maju,
menyebabkan gerakan 99 persen di Amerika dan Prancis, akibatnya kerusuhan
menjadi-jadi,” paparnya.
Kerusuhan di jalanan New York dan Paris, dikendalikan
melalui media sosial di mana hujatan-hujatan dalam bungkus kebebasan berbicara
dan berekspresi membuat kekerasan terjadi, “Pada titik ekstrem, Facebook
terbukti dijadikan alat koordinasi dalam perang sipil di Suriah dan kudeta di
Mesir,” tegas Rulli.
Menurut, Rulli kesadaran seluruh rakyat Indonesia dalam
mengisi media sosial mereka dengan sikap kritis yang mengedukasi menjadi sangat
penting, “Jangan memaknai kritik tersebut sebagai kubu-kubuan, bermusuhan,
berseberangan, dan oposan. Mereka yang netral dan kritis bila terus menerus
dirundung atau di-bully, akhirnya bakal diam. Bila mereka diam, siapa yang
rugi?,” tutur Rulli.
Pemerintah, menurut Rulli
memerlukan masukan dari masyarakat, tentunya yang objektif dan tidak selalu
menyalahkan. Dengan demikian, pemerintah mendapat masukan yang jernih agar
pembangunan untuk mewujudkan keadilan sosial tercapai, “Kita selalu
mempertanyakan bisakah demokrasi menyejahterakan dan adil kepada masyarakat?
Hal itu bisa terjadi bila ruang publik kita jernih oleh masukan-masukan yang
kontributif, bukan hujatan-hujatan,” tegasnya.
Menurut Rulli, LDII terus mendorong seluruh elemen
masyarakat memanfaatkan ruang publik bernama media sosial dengan bijak. Bila
saat ini, media massa mencari informasi dan sensasi dari media sosial,
pemerintah pun sebenarnya butuh masukan dari media sosial. Untuk itu LDII
mengajak seluruh masyarakat Indonesia, memanfaatkan media sosial sebagai pusat
informasi yang mendidik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar