Jumat, 16 Agustus 2013

Hukum Hibah Dan Wakaf

Hukum Hibah Dan Wakaf

dasar hukum hibah
Sahabat LDII Kediri, dalam pertanyaan pembaca Nuansa ingin menanyakan masalah hibah,  Assalaamu ‘alaikum Warohmatullohi Wabarokaatuh.Saya ingin  menanyakan sebuah kasus dalam keluarga kami, sebagai berikut : Bapak H. Sugara ( almarhum ) salah seorang paman kami telah meninggal dunia sekitar satu bulan yang lalu di Wonocolo, Surabaya,  meninggalkan seorang istri dan dua orang anak. Diatas tanah peninggalannya diantaranya didirikan sebuah bangunan untuk kepentingan sosial keagamaan, yaitu digunakan untuk Majelis Ta’lim bagi ibu-ibu Warga RT di kampung  kami. 
Surat hibah wasiat yang ditujukan kepada sahabat karibnya (Bapak H. Ibrahim) mengamanatkan agar sahabatnya itu bersedia meneruskan amal sodaqoh jariah paman kami  dan sekaligus mengambil alih semua aset (termasuk tanah beserta bangunan) serta mengembangkannya untuk  kepentingan umat.   Hal ini dilakukan karena semua anaknya menganut agama lain (bukan Islam), sehingga tidak mungkin untuk meneruskan cita-cita almarhum paman kami tersebut.
Data tentang bangunan yang dihibahkan  adalah sebagai berikut:
1. Bangunan yang luasnya kira-kira 20 M2 tersebut terletak diatas tanah seluas 500 M2, diperkirakan nilai jualnya sekitar Rp. 400.000.000,- SPPT PBB yang diterbitkan dalam tahun 2008 nilai NJOP nya sebesar Rp. 350.000.000,-
2. Tanah dan bangunan yang dihibahkan tersebut diatas tidak seberapa jika dibandingkan dengan seluruh harta waris yang ditinggalkan ( tidak mencapai sepertiganya ).
Yang ingin kami tanyakan :
1. Persyaratan apa saja yang harus dipenuhi agar surat  hibah wasiat tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan  yang dicita citakan oleh almarhum paman kami ?
2. Bilamana ada biaya pajak, kira- kira pajak apa saja yang harus dibayar ?
Demikian pertanyaan kami, atas kerjasamanya kami syukuri dan kami ucapkan Alhamdulillah Jazaa kumullohu khoiron.

Wa’alaikum salam Warohmatullohi Wabarokaatuh.

Bapak haji Djamaluddin yang kami hormati, kasus yang Bapak tanyakan adalah kasus yang umum terjadi. Pelaksanaan yang berkaitan dengan hibah wasiat ini sepenuhnya tergantung dari pada ahli waris itu sendiri, karena biasanya penerima hibah wasiat itu adalah orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga dengan pemberi hibah wasiat, sedangkan Bapak H. Ibrahim bukanlah termasuk keluarga, melainkan  sahabat karib yang akan memperoleh hak secara cuma-cuma. Jadi semua ahli waris harus betul-betul  rela  untuk menyerahkan sebagian dari harta peninggalan  sesuai dengan yang dikehendaki oleh almarhum.
Oleh karena itu atas pertanyaan tersebut dapat kami jelaskan sebagai berikut :
1.  Untuk melengkapi persyaratan guna keperluan Sertifikat Tanah (bukti   kepemilikan yang baru atas nama Bapak H. Ibrahim) antara lain :
a. Surat Kematian atas nama Bapak H. Sugara (almarhum)
b. Foto copy KTP para ahli waris.
c. Surat Keterangan Waris.
d. SPPT dan STTS  PBB.
e. Sertipikat Tanah, apabila belum bersertipikat, maka dapat diajukan girik asli dan AJB.
f. Akta Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (Akta Hibah).
g. Bukti pelunasan PPh Final  dan bukti pelunasan BPHTB.
h. Dsb.
Sayang sekali Bapak tidak menjelaskan apakah tanah yang dihibahkan tersebut sudah bersertipikat atau belum.  Anggap saja tanah tersebut sudah bersertipikat, maka sebelum dihibahkan harus dibaliknamakan dulu ke ahli waris, dalam proses balik nama ini ahli waris dikenai  pajak berupa BPHTB.
Setelah tanah bersertipikat  terdaftar atas nama ahli waris maka baru dilakukanlah proses peralihan hak kepada Bapak  H. Ibrahim dengan Akta Hibah di hadapan PPAT.

2.  Jenis pembayaran pajak dalam proses peralihan hak tersebut  adalah sebagai berikut:
a.  PPh Final :
Berdasarkan PP No. 48 Tahun 1994 jo PP No. 79 Tahun 1999, disebutkan bahwa pihak  yang memberikan hibah berupa tanah dan atau bangunan ( dianggap memperoleh penghasilan dari peralihan hak atas tanah dan atau bangunan ), dikenakan PPh bersifat Final sebesar 5% dari jumlah bruto nilai peralihan hak berdasarkan nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan akta peralihan hak ( harga pasar ) dengan NJOP PBB atas tanah dan atau bangunan tersebut.
Dengan demikian yang harus dibayar oleh ahli waris adalah = 5% X Rp. 400.000.000 = Rp. 20.000.000,-
(PPh Final ini tidak dikenakan apabila Pemberi hibah dan Penerima hibah ada hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ).
 b. BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan  Bangunan):Berdasarkan UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000, disebutkan bahwa Penerima hak,  wajib membayar BPHTB yang besarnya dihitung dengan rumus sebagai berikut :BPHTB = 5% X ( NJOP – NPOP TKP )  atau  5% X ( NPOP – NPOP TKP ).  Karena data tersebut diatas menunjukkan  bahwa NPOP nilainya lebih tinggi dari NJOP maka diambil nilai yang lebih tinggi, yaitu Rp. 400.000.000,-  Jika diasumsikan NPOP TKP (Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak) sebesar Rp. 35.000.000,- maka BPHTB dapat dihitung =  5% X ( Rp. 400.000.000 – Rp. 35.000.000 ) = Rp. 18.250.000,-

Penjelasan :  Apakah dengan dibebankannya BPHTB dan PPh Final tersebut diatas kepada ahli waris  akan membuat proses hibah wasiat ini terhambat,  sangat tergantung bagaimana  negosiasi antara kedua belah pihak.  Demikian sedikit penjelasan dari kami, semoga dapat menambah wawasan bagi Bapak sekeluarga. Aamiin !  Wassalaamu ‘alaikum Warohmatullohi Wabarokaatuh.

Tidak ada komentar:

Dialog Antar Umat Beragama Tangkal Perpecahan Anak Bangsa

 Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah terus membangun dialog, silaturahim kebangsaan dan penguatan kerukunan umat beragama untuk...