Hukum Hibah Dalam Islam

Penjelasan Hukum Hibah Dalam Islam

Hukum Hibah
Sebelumnya Kami bersyukur kepada Alloh yang masih memberikan Hidayah dan kesehatan dengan ucapan Alhamdulillahirobbil Alamin.
Demikian ini adalah jawaban pertanyaan dari Sdr Chairudin dari LDII Toli-Toli (Sulawesi) yang telah meminta konsultasi hukum tentang hibah kepada Departemen Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia DPP LDII dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
Ada seorang suami yang semenjak menikah tidak sehat dan sudah tidak kuat bekerja, kemudian tidak memiliki anak.
Dari pihak keluarga suami untuk menjaga agar harta bersama tidak jatuh kepada keluarga (jika suami meninggal), maka harta yang ada tersebut oleh suami dihibahkan kepada istrinya sendiri. Ketika akan terjadi hibah, keluarga dekat suami yang dijadikan saksi tidak mau tandatangani surat hibah dengan alasan tidak semua keluarga setuju, akan tetapi pihak dari luar keluarga setuju terhadap hibah tersebut. Mohon penjelasan secara hukum, apa saja syarat sahnya hibah dan apakah boleh hibah dilakukan tanpa persetujuan dari keluarga dekat, jika hal tersebut tetap dilakukan bagaimana cara pembatalan hibah tersebut.
Chairudin – Toli-Toli Sulawesi

Saudara Chairudin yang Kami hormati, agar jawaban atas pertanyaan dari saudara dapat difahami, maka perlu Kami tegaskan terlebih dahulu unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk bisa terjadi Hibah. Unsur-unsur Hibah adalah : 1) Ada Orang yang menghibahkan (atau disebut : Penghibah), 2) Ada Barang/harta yang dihibahkan (atau disebut : Obyek Penghibahan) dan 3) Ada Orang yang menerima hibah (atau disebut : Penerima Hibah).

Dari unsur-unsur tersebut, jika dihubungkan dengan pertanyaan dari Sdr Chairudin, maka yang disebut Penghibah adalah : Suami, dan Obyek penghibahan adalah : Harta bersama atau biasa disebut Harata Gono-Gini {yang dapat berupa Harta/benda Tetap, yaitu : Tanah beserta rumah, dan dapat berupa Harta/benda bergerak, yaitu : Mobil, sepeda motor, dll), sedangkan Penerima Hibah adalah : Istrinya.
Adapun syarat sahnya Hibah adalah :
Baik Penghibah (Suami) maupun Penerima Hibah (Istri) kedua-duanya harus dalam keadaan sehat rokhaninya.

Adapun bagi Suami disyaratkan pada saat memberikan hibah tidak dalam paksaan (Pasal : 210 Kompilasi Hukum Islam) dan walaupun Suami tersebut tidak sehat, asalkan pada saat memberikan hibah tidak dalam keadaan sakit yang mendekati kematian, maka masih diperbolehkan.
Sedangkan untuk Obyek penghibahan, karena terkait Harta bersama (Harta Gono-Gini), maka prinsipnya Suami tidak bisa menghibahkan harta bersama tersebut, tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Istrinya, dan karena Hibah tersebut direncanakan kepada Istrinya, maka sudah tentu Istrinya menyetujui.

Jadi syarat Obyek penghibahan harus harta miliknya sendiri dari Penghibah (Orang yang menghibahkan) dan tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) dari hartanya (Pasal : 210 Kompilasi Hukum Islam).

Sedangkan syarat yang lainnya adalah dilakukan dihadapan 2 (dua) orang saksi. (Pasal : 210 Kompilasi Hukum Islam). Dan perlu diketahui untuk benda tetap (Tanah dan atau rumah) dilakukan dihadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dalam hal ini adalah : Notaris atau Camat, sedangkan untuk benda bergerak dilakukan dihadapan Notaris.
Dalam kesempatan ini perlu, Kami kemukakan juga : Bagi Orang yang tunduk pada BW (Burgerlijk Wet boek voor Indonesia/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Hukum Indonesia), yaitu : Orang Tionghoa dan keturunan Eropa, “Penghibahan  antara Suami – Istri selama perkawinan mereka berlangsung, dilarang” (Pasal : 1678 BW). 

Selanjutnya pertanyaan dari Saudara Chairudin, apakah boleh hibah dilakukan tanpa persetujuan keluarga dekat? Dari penjelasan Kami di atas, maka tidak ada syarat yang mengharuskan hibah tersebut harus mendapatkan persetujuan keluarga dekat. Jadi walaupun tidak disetujui keluarga dekat, Suami dapat menghibahkan Hartanya (Harta Gono) tersebut kepada Istrinya, asalkan tidak melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta miliknya (Harta Gono).
Penghibahan baru disyaratkan harus ada persetujuan Ahli Waris, jika pada saat penghibahan tersebut pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian (Pasal : 213 Kompilasi Hukum Islam).

Lalu mengenai cara pembatalan hibah, dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Agama di tingkat Kabupaten/Kota dimana letak Obyek hibah tersebut berada, bagi orang-orang yang beragama Islam dan ke Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota dimana Obyek Hibah tersebut terletak, apabila ada salah satu diantara Penghibah, Penerima Hibah atau Penggugat (keluarga dekat) ada yang beragama selain Islam.
Sebelum mengajukan pembatalan hibah (mengajukan gugatan), harus diteliti apakah penghibahan tersebut benar-benar telah melanggar syarat-syarat yang telah Kami jelaskan di atas atau tidak. Kalau syarat-syarat tersebut tidak ada yang dilanggar, maka gugatan untuk pembatalan hibah akan sia-sia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kewajiban Bersyukur

Tri Sukses Generus LDII

Perjalanan Ibadah Tawaf dan Umroh