Jangan Takut Melarang Anak
Anak Larangan |
Sahabat LDII Kediri, Sekarang ini semakin banyak orangtua yang tidak berani melarang anaknya karena takut anaknya akan marah. Parahnya, ada orangtua yang tidak berani menegakkan peraturan di rumah karena takut sama anaknya.
Gara-gara menerima telepon dari rumah, hati Pak Johan tiba-tiba menjadi kesal. Ia ingin sekali marah. Tetapi ia tidak tahu harus marah kepada siapa. Tidak satu pun orang di kantor yang patut ia marahi. Siang itu Pak Johan benar-benar sangat jengkel dan ingin marah.
Sebenarnya Pak Johan tahu persis bahwa yang menyebabkan kemarahannya adalah Alex, anak laki-lakinya. Pagi tadi ketika Pak Johan sedang bersiap-siap berangkat ke kantor, Alex menghadang di pintu kamar Pak Johan.
Dengan wajah kusut karena baru turun dari tempat tidurnya, ia mengatakan pada Pak Johan bahwa siang nanti ia bersama dua temannya akan pergi ke Lampung bersepeda motor. Katanya ia sudah memberitahu ibunya tadi malam, dan ia minta agar Pak Johan memberinya bekal uang Rp300 ribu rupiah.
Inilah yang membuat hati Pak Johan benar-benar jengkel. Terus terang Pak Johan tidak setuju, dan tadi pagi terjadi perdebatan yang agak keras. Pak Johan sempat marah karena menganggap pemberitahuan Alex sangat mendadak. Alasan kedua, karena tidak jelas apa yang akan mereka lakukan di Lampung, disamping itu saat untuk kembali masuk sekolah sudah mendekat.
Sebagaimana biasanya Alex tidak pernah menyerah, dan entah bagaimana pagi itu Pak Johan akhirnya meminta Bu Johan untuk memberikan uang sebesar yang diminta. Dan sambil mengomel sendiri ia berangkat ke tempat kerja.
Bu Johan mencemaskan keselamatan anaknya. Ia pun kurang senang karena anaknya akan bepergian dengan teman-teman yang bukan dari sekolahnya. Pertemuan itu pun menimbulkan perdebatan panjang, yang berakhir dengan komentar Bu Johan: “Terserahlah, Ibu sudah tidak bisa mengatur kamu sama sekali. Kalau berani minta sana sama ayahmu.”
Nampaknya kekhawatiran dan keberatan sang Ibu tidak menjadi halangan bagi Alex untuk menemui ayahnya, terutama untuk mendapatkan bekal uang, esok paginya. Hari itu setelah makan siang, dan berpamitan pada ibunya, Alex berangkat dengan kedua temannya. Ia tak lupa menelepon ayahnya di kantor.
Alex bukan anak tunggal keluarga Pak Johan. Masih ada dua adik lainnya yaitu Lila dan Denny. Tidak hanya dalam menghadapi Alex, Pak dan Bu Johan merasa kewalahan (hilang akal). Mereka juga menemui kesulitan ‘mengendalikan’ Lila.
Rasa kewalahan yang dialami Pak Johan dan istrinya semakin meningkat setelah kedua anak tersebut menginjak remaja. Mereka kadang-kadang khawatir atas sikap mereka yang terlalu permisif (mudah meluluskan permintaan, mudah toleran), tidak tegas dan kurang dihargai anak.
Tetapi dalam kenyataannya mereka tidak sanggup mengalahkan kekhawatiran itu dengan mengubah sikap mereka. Dalam sebuah kesempatan berkumpul dengan sesama orangtua, Bu Johan sempat mengatakan bahwa ia takut kepada anak-anaknya karena mereka sudah lebih pandai berargumentasi.
Anak-anak sekarang lebih pandai dan lebih kritis. Ia sering merasa tidak yakin bahwa nasehat dan larangannya akan didengar dan dipatuhi, karena beberapa kali sudah menjadi kenyataan. Jadi ia lebih banyak menurut saja.
Sedangkan Pak Johan seperti juga beberapa orangtua lainnya punya perasaan bingung dengan metoda mendidik anak sekarang ini. Dicoba dengan cara permisif dan sikap berkawan ternyata mereka jadi lebih berani membantah atau menentang jika dilarang. Dicoba dengan cara keras dan tegas, mereka berontak.
Pak Johan betul-betul bingung, dan akhirnya lebih banyak mengalah, dan seterusnya marah karena menyesal, buntut-buntutnya menyalahkan diri sendiri.
Pengalaman nyata juga terjadi pada Bu Herti yang tidak berani melarang anak perempuannya, Manda. Beberapa bulan terakhir ini Manda mulai berpacaran dengan teman sekelasnya, Boyke. Mereka masih duduk di kelas 2 SMA.
Bu Herti mengeluhkan masalah ini kepada Riri sahabat Manda dan meminta Riri menegur dan menasehati Manda. Bu Herti sangat cemas karena disamping konsentrasi Manda kepada pelajaran mulai menurun tajam, berpacaran juga dilarang dalam agama. Dikatakannya pada Riri bahwa kalau sampai ia yang harus menegur anaknya, nanti terjadi keributan.
Tentu Riri heran. “Kalau ibunya sendiri saja takut menegur anaknya, apalagi saya. Jangan-jangan Manda bisa menuduh saya iri atau ikut campur urusan pribadinya? Wah, saya enggak mau kehilangan teman”, begitu komentar Riri waktu ia menceritakan kepada ibunya tentang permintaan aneh Bu Herti.
Nampaknya tidak sedikit orangtua yang mempunyai keluhan senada. Ini menunjukkan bahwa mereka menilai diri tidak mampu mendidik anak-anaknya dengan baik. Di manakah letak kesalahannya?
Besar kemungkinan orangtua takut atau ragu melakukan tindakan pada anak karena mereka takut mengambil risikonya. Pak Johan dan istrinya takut kalau Alex dilarang, ia akan kabur dari rumah atau akan melakukan perbuatan yang lebih buruk.
Bu Herti takut kalau ia bicara dan melarang Manda pacaran, Manda akan berbalik nekad atau sembunyi-sembunyi, dan bisa-bisa tidak naik kelas. Padahal setiap tindakan dalam upaya mendidik anak pasti mengandung risiko.
Tidak ada usaha tanpa risiko kalau kita ingin mencapai sesuatu. Namun, ada risiko yang layak diambil, dan ada resiko yang wajib dihindari. Ambil contoh orang yang bimbang di persimpangan jalan, padahal lampu merah sudah berganti hijau.
Dalam keadaan begini ia harus segera jalan. Jangan takut risiko bahwa arah yang diambilnya bisa salah. Sebab, kesalahan itu tidak akan menimbulkan akibat fatal, dan bisa segera dikoreksi. Berbeda dengan orang yang harus mempertimbangkan akibat penggunaan obat tertentu. Salah-salah nyawa bisa melayang. Ini situasi yang risikonya wajib dihindari.
Anak ngambek adalah risiko yang layak diambil karena masih mudah diperbaiki. Yang harus dihindari adalah anak menggunakan narkoba atau melakukan hal-hal lain yang membahayakan masa depannya.
Maka orangtua patut secara tegas melarang perbuatan anak yang jika dibiarkan akan menjerumuskan mereka ke kehancuran. Jangan takut bahwa anak akan ngambek, karena ngambeknya anak akan mudah diatasi. Anak bahkan harus diajar untuk sekali-kali kecewa, tanpa kehilangan ‘kepercayaan’ bahwa orangtua tidak bermaksud mencelakakan anaknya.
Kesadaran ini yang harus ditanamkan orang tua pada anak. Setelah anak percaya bahwa orang tua mencintai mereka, anak tidak akan tahan untuk berlama-lama memusuhi orang tua.
Ingat saja bahwa sebagian besar orang didunia ini pasti pernah dihukum orang tuanya, tetapi tetap menghargai mereka. Sebaliknya, orangtua yang takut atau ragu-ragu bertindak tegas justru akan menghadapi risiko yang lebih besar lagi di kemudian hari, baik untuk anak maupun orangtua itu sendiri. Anda sendiri bagaimana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar