RRI Tarakan |
RRI dan Tantangan Radio Digital
Sahabat LDII Kediri, Enam puluh empat tahun silam kurang dari satu bulan pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, tepatnya tanggal 11 September 1945, para kru Radio Republik Indonesia (RRI) berikrar sumpah yang dikenal dengan ”Sumpah Angkasawan RRI”. Tiga butir sumpah diucapkan. Semuanya mengacu pada nasionalisme dan rasa cinta kepada tanah air. Tanggal 11 September 1945 pun ditetapkan sebagai dari lahir RRI dan Hari Radio.
Dalam sejarah penyiaran di Indonesia, RRI menjadi bagian dari perjuangan bangsa Indonesia. Perannya dalam mengumandangkan pesan-pesan perjuangan dan kemerdekaan sangat besar. Motto ”Sekali di Udara Tetap di Udara” telah memberikan semangat kepada para Angkasawan RRI saat itu.
Hal ini sejalan dengan Sumpah Angkasawan RRI butir ketiga yang berbunyi: ”Kita harus berdiri di atas segala aliran dan keyakinan partai dan golongan, dengan mengutamakan persatuan bangsa dan keselamatan negara serta berpegang pada jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945”.
Dalam perjalanannya, RRI telah mengalami beberapa kali perubahan status. Pada masa kemerdekaan, RRI digunakan sebagai alat perjuangan. emasuki era Orde Baru, RRI digunakan sebagai lembaga penyiaran Pemerintah. Perannya tak lebih sebagai ”humas” Pemerintah.
Pada era reformasi, RRI ditetapkan sebagai Perusahaan Jawatan (Perjan) yang kemudian mengalami transisi menuju status sebagai Lembaga Penyiaran Publik di era pasca reformasi. Dalam Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) Pasal 14 ditegaskan bahwa RRI adalah Lembaga Penyiaran Publik yang bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi melayani kebutuhan masyarakat.
Lasswell menyebut tiga fungsi sosial media penyiaran publik. Fungsi pertama sebagai pengawas sosial (social surveillance), yaitu penyebar luasan informasi dan interpretasi yang obyektif mengenai berbagai peristiwa dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Fungsi kedua adalah korelasi sosial, yaitu upaya pemberian interpretasi dan informasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya, antara satu pandangan dengan pandangan lainnya untuk mencapai konsensus. Fungsi ketiga sosialisasi (socialization), yaitu upaya pewarisan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi lainnya atau satu kelompok ke kelompok lainnya.
McQuail memberikan penegasan bahwa urgensi penyiaran publik adalah untuk menjunjung tinggi nilai-nilai yang banyak ditinggalkan oleh oleh media komersial seperti independensi, solidaritas, keanekaragaman (opini dan akses), obyektifitas, dan kualitas informasi.
Perang Informasi
Status Lembaga Penyiaran Publik yang diemban oleh RRI adalah sebuah tugas suci. Insan RRI dituntut untuk melaksanakan amanah Negara dan sumpahnya secara konsisten dan konsekuen, mengingat saat ini sedang terjadi perang informasi. Yakni ketika derasnya arus informasi dan komunikasi yang antara lain dipicu oleh perkembangan tekonolgi komunikasi dan informasi yang begitu pesat.
Arus informasi yang datang begitu cepat, serempak (ubiquitos), beragam sumber yang tidak diketahui (anonimity), menggempur sendi-sendi pertahanan bangsa, moral, dan kepribadian bangsa bahkan sikap kita sebagai bangsa. Dengan terjadinya konvergensi peralatan media komunikasi dan informasi, yaitu menyatunya suara, gambar, data, dan grafis, serangan informasi kepada masyarakat semakin dahsyat dan diterima setiap saat.
Program siaran televisi, radio, dan internet dengan amunisi tanpa batas banyak yang bisa diambil manfaatnya namun tidak sedikit yang justru menjadi racun dan menyerang anak-anak dan remaja sehingga meruntuhkan tatanan nilai luhur kita sebagai bangsa.
RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik menjadi tumpuan dan harapan kita saat perang informasi sedang berlangsung. Bila di masa perjuangan dahulu RRI mampu melaksanakan misi memproklamirkan kemerdekaan Indonesia ke seluruh penjuru dunia, maka saat ini RRI harus mampu melakukan penyeimbangan informasi di ruang publik kita yang saat ini semakin terhegemoni oleh globalisasi informasi.
RRI harus bisa menjaga indentitas nasional kita dan mereaktualisasi kebudayaan dan kepribadian bangsa melalui program siaran yang kreatif dan inovatif. Setidaknya dalam program siaran RRI harus mengadung unsur E3N, yakni education (pendidikan), empowering (pemberdayaan), enlightening (pencerahan), dan nationalism (nasionalisme).
Saatnya Radio Digital
Dalam menjalankan perannya sebagai radio publik, selain sisi idealismenya tetap dipertahankan, RRI pun harus bersiap siap untuk bermigrasi ke radio digital. Penyiaran radio digital merupakan teknologi di bidang penyiaran radio terestrial yang mengirimkan sinyal audio/suara setara kualitas kualitas CD (compact disc). Audio dengan kualitas CD adalah yang terbaik karena bebas dari interferensi dan noise.
Yang menarik, dengan penyiaran digital akan terjadi efisiensi frekuensi dengan adanya sistem kanal multi program. Satu kanal analog setara dengan 2 sampai 10 program digital. Selain itu melalui radio digital akan terjadi effisiensi daya/power. Kelebihan lain dari radio digita adalah selain pancaran suara, pendengar juga secara bersamaan menerima info dalam bentuk data, gambar tentang artis, judul lagu, laporan cuaca, laporan lalu lintas, dan sebagainya.
Amerika Serikat telah memilih menggunakan In Band On Channel (IBOC) sebagai salah satu sistem penyiaran radio digital. Sistem IBOC bekerja dengan menggabungkan sinyal audio analog dengan sinyal audio digital agar diperoleh kompatibilitas antara penyiaran radio analog dengan penyiaran radio digital, baik pada radio AM maupun FM.
Penyiaran radio IBOC juga menyediakan layanan data nirkabel (wireless), audio on demand, dan data lain yang berkenaan dengan materi yang disiarkan oleh siaran radio digital dan menjadi layanan tambahan.
Di Eropa dan saat ini digunakan di beberapa negara Eropa, Kanada, dan Asia untuk sistem penyiaran radio digital secara komersial yang memerlukan pita frekuensi penyiaran di luar spektrum frekuensi radio AM dan FM dengan menggunakan Digital Audio Broadcasting (DAB) .
Sistem penyiaran radio digital DAB memerlukan lebar pita atau lebar kanal untuk setiap stasiun penyiaran yang lebih lebar dari yang dialokasikan untuk stasiun penyiaran radio AM dan FM di Amerika Serikat saat ini, sehingga memerlukan spektrum frekuensi baru untuk memancarluaskan siaran radio digital DAB.
Tantangan Ke Depan
Di Indonesia, pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) telah menunjuk Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI dan RRI untuk melakukan uji coba siaran digital mulai 13 Agustus 2008 di wilayah Jabodetabek.
Sejauh ini, implementasi penyiaran digital oleh RRI masih belum dilakukan secara menyeluruh. Untuk frekuensi AM-MW masih menggunakan sistem analog. Padahal di negara-negara lain di Asia sudah dilakukan uji coba. Bila terlambat mengantisipasi hal ini, bukan tidak mungkin RRI akan tertinggal dan kalah oleh radio dari negara tetangga.
Ancaman krisis identitas pun akan semakin terbuka. Bisa jadi orang Indonesia akan menikmati musik keroncong dan lagu daerah dari radio negara tetanggga, oleh karena suaranya lebih jernih dan lebih memikat sebab menggunakan radio dan pemancar digital.
Selain teknologi, RRI juga perlu membenahi SDM-nya serta mengaktifkan litbang untuk pengembangan database narasumber, kebudayaan, sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan demografis kita. Sekali-sekali RRI juga perlu riset, yang isinya bukan untuk memantau rating akan tetapi mengetahui permasalahn yang muncul di masyarakat dan bagaimana solusi komunikasi dan informasinya.
Sektor pendanaan merupakan kunci pemecahan masalah. Paradigma kita memandang RRI sebagai ”humas” Pemerintah harus diubah menjadi RRI sebagai ”andalan” kita dalam menghadapi perang informasi di ruang publik. Oleh karena itu negara harus bisa menyiapkan dana yang cukup agar RRI semakin punya ruang dan amunisi untuk mempertahankan identitas bangsa. Jadi, biarkan RRI menjadi ”cost centre” dan jangan biarkan RRI menjadi ”profit centre”. Dirgahayu RRI ke-64!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar