Perang Asimetris

Perang Asimetris

Sahabat LDII Kediri, Mengapa manusia harus berperang? Ini pertanyaan filosofis yang terus mengganggu. Ini sudah bermula sejak peradaban-peradaban tua dunia. Mereka saling serang dengan barisan tentara. Hingga suatu saat bangsa Sumeria (5 ribu SM) menemukan roda, yang mampu meningkatkan mobilitas pasukannya. Di saat itu karena kecepatan pasukannya, bangsa ini menguasai seluruh wilayah Mesopotamia - wilayah Irak sekarang.

Perang konvensional adalah perang yang mempertemukan dua kekuatan yang relatif berimbang. Dan kecepatan menjadi kredo untuk memenangi perang. Filosofofi inilah yang diyakini Jenderal Heinz Guderian penggagas blitzkrieg - serangan kilat - yang memenangi banyak pertenouran untuk Hittler saat Perang Dunia II. Elemen utamanya adalah kavaleri alias tank dan panzer Jerman yang mampu bergerak cepat --- di zamannya - masuk ke wilayah lawan. Pendadakan ini didukung oleh serang udara.
Puluhan tahun kemudian, Amerika menirunya dengan istilah karpet bom. Merujuk pada penyerangan cepat yang dilakukan dengan jet-jet tempur dan pesawat pengebom. Lalu disusul barisan tank yang masuk ke dalam kota. Namun zaman telah berubah begitu juga perang.

Perang saat ini kian canggih, meski tak harus melibatkan pasukan atau persenjataan militer. Inilah yang disebut perang inkonvensional, yang salah satu bagiannya disebut sebagai perang asimetris - perang yang melibatkan kekuatan yang tak berimbang. Perang yang tak menggunakan cara-cara yang lazim atau pengerahan pasukan dalam jumlah besar, namun efeknya jauh lebih merusak. Yang termasuk dalam perang seperti ini adalah aksi terorisme, gerilya, perang dunia maya (cyber war), perang ideology, dll.

Perubahan bentuk perang ini, lantaran kemajuan teknologi, ideologi, sampai karena ketidakadilan. Indonesia sebenarnya menghadapi perang serius seperti ini. Sebagai negeri kaya, namun pemerintahnya tak pernah menyadari sedang berhadapan dengan perang asimetris melawan elemen-elemen masyarakat dan politisi yang menjadi kaki tangan asing. 

Salah satu alat pertempuran ini adalah kelompok bisnis atau negara lain memanfaatkan keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menekan pemerintah. Umumnya mereka bergerak dengan menggunakan isu-isu demokrasi, HAM, dan lingkungan.

Para aktornya kerap tak sadar mereka sedang diperalat untuk menghimpun berbagai data, yang kemudian diserahkan ke luar negeri oleh pemesannya. Sebagai misal, negara-negara Barat akan membantu negara-negara yang demokratis, mereka yang tetap otoriter tak akan dilirik Amerika Serikat sebagai teman. Maka dibuatlah parameter demokrasi, semisal Pemilu, pers yang bebas, bahkan supremasi sipil.

Setelah itu, biasanya, negara-negara Barat membuat berbagai riset di bidang demokrasi. Dengan melibatkan banyak LSM. Antara satu LSM dengan yang lainnya, diberi proyek berbeda namun memiliki satu keterkaitan antara yang lain. Hasil laporannya kemudian disusun disusun - ini semacam kerja pabrik, yang komponennya kemudian dirakit menjadi satu, menjadi sebuah produk - menjadi rekomendasi apa yang harus dilakukan oleh Barat untuk menekan Indonesia.

Di lain sisi Indonesia juga terancam kapitalisme global yang menyerang melalui gaya hidup. Para produsen dunia menetapkan standar gaya hidup modern, yang siapa saja tak mengikutinya, menjadi semacam manusia “aneh” yang ketinggalan zaman. Maka mereka mendorong konsumerisme dan hedonisme - yang memuja kemewahan secara berlebihan. Lalu dibuatlah berbagai iklan di televise ataupun internet, untuk mendorong para konsumen terus membeli produk, yang sebenarnya tak penting.

Impor pun meningkat hingga devisa beterbangan ke luar negeri. Sementara Indonesia hanya bisa mengekspor bahan baku yang jauh nilainya daripada ekspor barang jadi. Inilah ketidakadilan yang terjadi antara Timur dan Barat. Sementara, agen-agen asing dan broker alias makelar perusahaan-perusahaan multinasional disusupkan ke dalam pemerintahan, bisa menjadi wakil rakyat, politisi, ataupun pengamat. Mereka membuat pemerintah menjadi lemah terhadap kepentingan asing, yang sebenarnya menjajah kembali Indonesia. 

Maka seyogyanya, selain membangun kekuatan militer, Indonesia harus membangun moral, akhlaq, dan identitas bangsa. Agar menjadi bangsa yang kuat. Tak terpengaruh justru berpengaruh.

umat manusia. Perang adalah ketika semua jalan damai ataupun diplomasi tertutup, untuk meraih tujuan negara. Dan selalu, ini soal perebutan wilayah antar negara, yang memiliki kekayaan alam atau sumber-sumber energi yang penting.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kewajiban Bersyukur

Tri Sukses Generus LDII

Perjalanan Ibadah Tawaf dan Umroh