Pengertian Hegemoni

Hegemoni yang Membuat Konsumen Terjajah

Hegemoni Kekuasaan
Sahabat LDII Kediri, Kalau Anda kian gemar nongkrong di Starbuck atau kafe-kafe brand internasional, ada baiknya bertanya dalam hati? Pertama; Anda suka kopinya. Kedua; suasana nongkrongnya, atau ketiga; hanya ingin terlihat keren.

Kalau Anda memilih pertama, itu soal selera. Selagi kantong Anda tebal, tiada masalah. Masalahnya bila Anda cenderung pada pilihan kedua dan ketiga. Hati-hatilah. Anda harus mulai bertanya kepada diri sendiri, soal ukuran keren – meminjam istilah remaja sekarang sebagai “gaul”.
Repotnya standarnya selalu umum, berdasarkan kata mayoritas orang. Padahal, selera umum alias budaya pop dibuat dengan sistem massa – disukai banyak orang. Inilah yang disebut massifikasi dalam terminologi ilmu komunikasi. Yang namanya membuat produk massal, harus mampu membuat masyarakat menyukainya.

Lalu produsen membuat ukuran atau standar, yang mana yang disebut gaul, modern, berkelas, seksi, cantik, maskulin. Standar-standar inilah yang dimasukkan ke dalam rumah Anda melalui iklan-iklan televisi, sinetron, infotainment, dll. Dibuatlah standar cantik itu harus kebarat-baratan, lengkap dengan hidung mancung, kulit harus putih mulus, dan rambut pirang. Sementara yang lelaki juga harus atletis, bule, dan menggunakan mobil sport atau SUV yang macho itu. Tujuannya, agar konsumen tak lagi sadar berada di alam nyata atau alam khayal.

Akibat dari bombardir iklan dengan standar produsen ini, terbilang merusak. Para lelaki berlomba-lomba meminum suplemen penambah energi juga pembentuk otot agar dikagumi para wanita. Mereka juga ikut-ikutan mengendarai mobil sport, untuk menunjang penampilan. Ukurannya tidak lagi, bagaimana seorang lelaki yang bertanggung jawab terhadap keluarga, bijaksana, jujur, dan bekerja keras. Semuanya diukur selalu dengan fisik.

Para wanita, berkat sinetron dan iklan, mulai ke salon, memutihkan kulit, mewarnai rambut, mengoperasi hidung, dan payudara. Semuanya memburu kata “cantik” versi televisi. Standar wanita yang setia, jujur, amanah, mencintai keluarga – sesuai standar nilai budaya dan agama – diabaikan sama sekali.

Lalu, apa yang salah? Salahnya adalah semua ukuran ini dikejar tanpa memperhatikan daya beli. Akibatnya mudah ditebak, manusia kian mengabaikan moralitas dalam mencari nafkah. Berbohong, menipu, bahkan melacurkan diri untuk menggapai standar modern dalam televisi. Nilai-nilai universal manusia harus jujur, amanah, kerja keras dan berhemat, kompak, rukun, dan bekerjasama tak lagi digunakan sebagai standar hidup.

Inilah yang disebut hegemoni. Di mana produsen sebagai segelitir orang mampu mempengaruhi massa, tanpa sedikitpun disadari. Mereka menerima soft power ini secara sukarela bahkan merasa nyaman dengan keterjajahannya itu.

Lebih parah lagi, hegemoni budaya ini juga menggeser selera. Restoran dan kafe fast food memadati kota-kota besar. Yang menimbulkan tren di kalangan remaja, Anda tampak keren kalau makan pizza di Pizza Hut misalnya, dan tampak lusuh dan terbelakang bila mengudap nasi pecel di dekat pasar di sudut kota. Pada akhirnya ini memang bukan urusan nasi pecel saja, tapi bandrek atau wedang jahe yang harus ngos-ngosan bersaing dengan Coca Cola. Kue bikang yang tergeser dengan donat Dunkin’ Donuts. Ayam bakar harus bertempur ketat dengan fried chicken. 

Perputaran ekonomi yang seharusnya menetes ke masyarakat kecil bergeser ke para pemilik modal besar. Jati diri bangsa juga hilang. Parahnya konsumen tak menyadari apa yang mereka kudap. Berbagai riset telah membuktikan, masakan fast food mengandung kolestrol jauh lebih tinggi ketimbang masakan Padang. Minuman bersoda adalah zat kimia buatan yang meracuni tubuh pelan-pelan, bandingkan dengan minuman jahe, beras kencur, atau asem yang segar juga mengandung vitamin dan zat-zat yang berguna bagi tubuh.

Ini cerita seorang kawan, jurnalis senior sisa-sisa angkatan 1970-an, yang membuat sebuah kantor berita. “Payah anak muda zaman sekarang,” begitu katanya pada saat kami nongkrong di Bentara Budaya usai melihat pameran lukisan. Saya bertanya, “Emang kenapa mas?” Dia menjawab, pengetahuan sejarah mereka minim, padahal dia sedang mencari redaktur. Nama-nama yang terseleksi cerdas-cerdas dan punya bakat wartawan dan menulis. Tapi payah soal sejarah bangsa.

Bayangkan, mereka lebih hafal sejarah Bill Gates ketimbang siapa itu Syahrir atau Tan Malaka, hafal Kolonel Sanders ketimbang Jenderal Sudirman. Lebih tahu persis di mana letak New York ketimbang kota bernama Biak atau Trenggalek. Inilah cermin generasi yang akan datang, generasi yang sudah diterpa iklan, sejak bangun tidur dan akan tidur. Mereka mengenakan Levis dan enggan mengenakan batik, yang katanya kuno. Mereka tak pernah sadar bahwa bangsa ini sedang terjajah, bukan dengan armada perang namun hanya sinetron atau iklan.

Sampai titik ini kita harus menyadari, bagaimana pentingnya membangun kesadaran dan jati diri bangsa. Bukan menjadi konsumen yang terjajah, pasif, dan tak berdaya. 

Oleh Ludhy Cahyana, Departemen Informasi, Komunikasi, dan Media Massa DPP LDII

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kewajiban Bersyukur

Tri Sukses Generus LDII

Perjalanan Ibadah Tawaf dan Umroh