Ironis Antara Pekerjaan dan Tanggung Jawab

Ironis Antara Pekerjaan dan Tanggung Jawab

Sore itu sebuah mobil Afanza berparkir di depan rumah saya, pengemudinya turun, dengan penampilan pakaian ala preman, rambut gondrong diikat kebelakang, kalung bergantung di leher, berjaket jean dan celana jean, di jari tangan terlihat beberapa cincin batu akik. Ia datang menghampiri saya yang kebetulan pintu rumah terbuka dan saya duduk di kursi yang dekat dengan pintu menghadap ke halaman rumah. Rupanya Ia adalah orang tua mahasiswa saya yang datang untuk satu keperluan yaitu menitipkan anak perempuannya yang sekarang duduk di bangku SMA kelas 3, untuk kiranya dibimbing agar dapat masuk Program Studi Kebidanan di Sekolah tempat saya bekerja. Kegiatan sehari-hari si Bapak seram ini adalah seorang Deb Kolektor di dua perusahaan Finance di Kota kami, penampilan yang demikian sesuailah dengan pekerjaannya yang memang juru tagih dari setiap kredit yang bermasalah sekaligus ia juga dipercaya sebagai tim security untuk mengamankan dari rongrongan pihak penganggu. Namun demikian yang menjadi sangat istimewa buat saya adalah tanggung jawab terhadap anaknya yang di titipkan untuk dididik di sekolah kami padahal menurut Beliau mereka telah bercerai dan ke dua anaknya yang sedang dan yang akan bersekolah di tempat saya mengajar notabene adalah anak istrinya alias anak tirinya. Ia menjelaskan walaupun anak tiri saya tetap sayang dan mereka tetaplah tidak terhalang dengan status itu.
Fenomena yang jarang terjadi pada orang dengan penampilan yang seram seperti cerita di atas, itu mungkin pantasnya pada orang biasa yang solih dan pendidikan baik. Lalu saya teringat pada seseorang yang berpenampilan yang sebaliknya, yang menurut saya sangat ironis, yaitu ada seorang oknum orang tua (bapak), terpelajar, berpredikat sarjana ditambah dengan pendidikan profesi pada bidangnya, lulusan dari perguruan tinggi bergengsi. Beliau juga adalah orang yang ditokohkan dikalangan komunitas pengajian ditempatnya, Beliau mempunyai dua anak dari istri ke duanya dan sekarang setatus mereka cerai, dua anak itu ikut bersama Ibunya, dengan alasan pada waktu itu anak-anak masih di bawah umur ke dua anak mereka perlu pengasuhan dari ibu. Saat ini anak-anak sudah besar dan sudah menginjak akil balig, namun tetap masih tinggal bersama Ibunya yang pada saat ini sudah memiliki suami lagi (Bapak tiri dari anak-anak Beliau). Berdasarkan penuturan si Ibu, sejak mereka berpisah pemberian bantuan untuk anak-anaknya tidak berjalan dengan lancar, hanya beberapa kali saja ia meberikan bantuan biaya sekedarnya, yang mengenaskan untuk mendapatkannya sering harus dikejar dan diingatkan. Karena suatu hal salah satu anak beliau terjadi kenakalan, kemudian Bapak tiri (suami mantan istrinya), mengajak berembuk untuk menyelesaikan masalah anak Beliau dan sekaligus memohon bantuan dana untuk kelangsungan pendidikan dan kehidupan anak-anaknya. Yang terjadi Beliau tidak menaggapi dengan cepat dan serius sehingga masalah berlarut-larut. Demikian Ironisnya jika kita bandingkan dengan orang tua yang preman pada kasus di atas. Tentu setiap orang memiliki alas an untuk bertindak, dengan komunikasi yang terjalin baik setidaknya aka nada kejelasan dan dapat dimengerti oleh masing-masing, pihak.
Marilah kita simak bersama dalil-dalil di bawah ini untuk nasehat kita sekalian:
Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu akan ditanya tentang kepemimpinanmu. Imam adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Orang laki-laki (suami) adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Isteri adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin dalam menjaga harta tuannya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Dan masing-masing dari kamu sekalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. [HR Bukhari juz 1, hal. 215]
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...... . [QS. An-Nisaa' : 34]
Dan bagi ayah berkewajiban memberi nafkah dan memberi pakaian kepada ibu (dan anaknya) dengan cara yang ma'ruf. [QS. Al-Baqarah : 233]
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Satu dinar kamu infaqkan fii sabiilillah, satu dinar kamu pergunakan untuk memerdekakan budak, satu dinar kamu sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang kamu belanjakan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya ialah yang kamu belanjakan untuk keluargamu". [HR. Muslim juz 2, hal. 692]
Dosa bagi seorang Bapak yang mengabaikan keluarganya, termasuk anak di dalamnya.
Dari Abdullah bin 'Amr (bin Al-'Ash), ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah bagi seseorang berdosa, apabila dia mengabaikan orang yang makan dan minumnya menjadi tanggungannya". [HR. Abu Dawud juz 2, hal. 132]
Dari Ummu Salamah, ia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, apakah saya mendapat pahala kalau saya membelanjai putra-putranya Abu Salamah, sebab saya tidak dapat membiarkan mereka demikian dan demikian (mencari makan kesana-kemari), karena mereka itu juga sebagai anak-anak saya ?". Jawab Rasulullah SAW, “Ya, kamu mendapat pahala dari apa yang kamu belanjakan kepada mereka". [HR. Muslim juz 2, hal. 695]

Mari kita perhatikan bagaimana seorang Bapak harus berbuat adil pada anak-anaknya.
Dari Nu'man bin Basyir, ia berkata, “Ayahku memberikan sebagian hartanya kepadaku”. Lalu ibuku, yaitu ‘Amrah binti Rawahah berkata, ”Aku tidak rela sehingga kamu minta disaksikan kepada Rasulullah SAW”. Maka ayahku datang kepada Nabi SAW meminta kepada beliau untuk menyaksikan pemberiannya kepadaku. Lalu Rasulullah SAW bertanya, “Apakah kamu juga memberikan seperti ini kepada semua anakmu ?". Ia menjawab, “Tidak". Nabi SAW bersabda, “Bertaqwalah kepada Allah, dan berbuatlah adil terhadap anak-anakmu". Lalu ayahku pulang dan menarik kembali pemberian itu. [HR. Muslim juz 3, hal. 1242].
Dan dalam satu riwayat, Nabi SAW menjawab, “Carilah saksi untuk hal ini kepada selain aku". Kemudian beliau bersabda, “Apakah kamu tidak senang apabila anak-anakmu sama-sama berbhakti kepadamu ?". Dia menjawab, “Ya". Beliau bersabda, “Jika demikian, maka janganlah kamu lakukan". [HR. Muslim juz 3, hal. 1244]

Marilah kita urus anak-anak kita meskipun mereka mungkin sudah tidak bersama kita, karena kewajiban tetaplah melekat. Alloh mengerti keberadaan kita, cukup lakukan dengan bil-ma-ruf.
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezqinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. [QS. Ath-Thalaaq : 7]

Semoga jadi pelajaran barokah bagi mereka yang terpaksa harus berpisah dengan anak-anaknya, jangan rasa tidak cocok dengan pasangannya menjadi hambatan untuk menafkahi anak-anaknya, Jangan sampai anak jadi korban dan pada gilirannya membawa kerugian bagi dirinya dunia achirot.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kewajiban Bersyukur

Tri Sukses Generus LDII

Perjalanan Ibadah Tawaf dan Umroh