Artikel Tentang EQ
Artikel Tentang EQ |
EQ bukan merupakan lawan IQ, dan jelas setiap orang sangat
mengharapkan untuk dianugrahi kemampuan keduanya yang cukup besar. Namun, ada
sedikit keraguan bahwa orang dengan tingkat EQ yang kurang mencukupi, akan
menemui kesulitan bertahan dalam kehidupan. EQ adalah serangkaian kecakapan
yang memungkinkan seseorang melapangkan jalan didunia yang rumit, aspek
pribadi, social dan pertahanan dari seluruh kecerdasan, akal sehat yang penuh
misteri dan kepekaan yang penting untuk berfungsi secara efektif setiap hari.
Dalam bahasa sehari-hari EQ disebut sebagai akal sehat.
Selama lima generasi, para peneliti terus berdiskusi apakah
memungkinkan meningkatkan IQ seseorang ? secara genetis jawabannya adalah
tidak. Tapi ketika para penelliti kekuatan otak ( brain power ) masih berdebat
mengenai hal ini, para peneliti ilmu social menyimpulkan bahwa EQ seseorang
mungkin masih bisa ditingkatkan. Secara khusus, ketrampilan seseorang, seperti
: empati, keluwesan, kemampuan untuk membaca situasi social. Para ahli social
secara kontinyu menekankan situasi di mana pengalaman telah mengubah EQ
seseorang. Rasululllah SAW bersabda :
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ، وَإِنَّمَا الْحِلْمُ
بِالتَّحَلُّمِ، ... الحديث * رواه الطبراني
Artinya : sesungguhnya ilmu itu ( didapat ) dengan belajar,
dan sesungguhnya kemurahan hati itu ( didapatkan ) dengan belajar ( melatih
diri ) bermurah hati.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا حَلِيمَ إِلَّا
ذُو عَثْرَةٍ، وَلَا حَكِيمَ إِلَّا ذُو تَجْرِبَةٍ» * رواه الترمذي
Artinya : Tidak ada orang yang bermurah hati kecuali orang
yang memiliki ( pengalaman diri ) kesalahan, dan tidak ada juru hukum ( yang
sempurna ) kecuali orang yang memililki pengalaman ( baik yang direncanakan
maupun tidak ).
Contohnya, peneliti bidang pendidikan membagi murid-murid
yang normal menjadi 2 kelompok ( kelompok A dan B ). Kelompok A diperkenalkan
dengan anak-anak sebaya yang cacat, kemampuan empati dan keluwesan mereka dapat
meningkat. Selanjutnya kelompok B diperkenalkan dengan anak-anak sebaya yang
memiliki perilaku bandel. Kemampuan mereka untuk belajar membaca situasi sosial
meningkat lebih pesat.
Ahli sosial menyimpulkan bahwa dari penelitian EQ, hasilnya
sangat cocok digunakan untuk mengategorikan mana orang-orang pesimis dan mana
orang-orang optimis. Orang yang optimis memiliki EQ yang tinggi dan melihat
kendala sebagai hal yang minor ( hal kecil ). Sebaliknya bagi kelompok
pesimistis dengan EQ rendah, kendala merupakan hal yang besar. Dalam lingkaran
penelitian sosial, EQ tinggi menunjukan kemampuan seseorang untuk bertahan, dan
disini bisa terjadi persilangan di antara IQ ( genetika ) dan EQ ( lingkungan
). Seperti orang bisa memiliki : IQ tinggi – EQ – tinggi; IQ tinggi – EQ rendah;
IQ rendah – EQ tinggi; IQ rendah – EQ rendah.
Mengutip kata-akta Charles Darwin : “The biggest, the
smartest, and the strongest are not the survivors. Rather, the survivors are
the most adaptable.” ( orang yang bertahan hidup bukanlah yang terbesar,
terpandai dan terkuat. Melainkan orang yang paling mampu beradaptasi/menyesuaikan
diri ).
Perkembangan selanjutnya, ditemukan bahwa ada faktor lain
yang menentukan kesuksesan yaitu optimisme. Diantara kita yang bisa bertahan
dan maju berkembang dalam dunia yang kompleks ini bukan hanya mereka yang
paling bisa beradaptasi, namun juga yang paling optimistik dan ini sepertinya
adalah mereka yang paling memiliki EQ tinggi. Seorang anak yang tercerdas di
suatu kelas tidak selalu berakhir dengan kesuksesan ! atau, mengapa ada orang
yang berhasil bertahan saat menghadapi trauma besar sementara yang lainnya
tidak ? apakah mungkin ini diakibatkan oleh karena perbedaan EQ dari seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar