Rabu, 12 Juni 2013

Reaktualisasi Pancasila

Reaktualisasi Pancasila

Sejarah Pancasila
Setiap 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati hari lahirnya Pancasila. Di tanggal itu 68 tahun lalu, Bung Karno dengan berapi-api memaparkan Pancasila atau lima sila atau juga lima dasar falsafah bangsa. Di depan delapan anggota panitia kecil dia menjelaskan, Pancasila adalah gagasan orisinil yang lahir dari kebijakan lokal berbagai suku di Indonesia, dari Sabang hingga Merauke.

Pancasila, demikian, kata Bung Karno berinti gotong royong. Di mana sikap ini memerlukan kepedulian yang tulus dari suatu masyarakat. Benarkah era reformasi menghasilkan pemerintahan yang mengabaikan Pancasila?. Bila itu benar artinya negara ini berjalan tanpa ideologi, tanpa falsafah, juga tanpa jiwa. Artinya, kepentingan pribadi dan golongan diutamakan, bahkan kepentingan asing diberi ruang hanya demi kesejahteraan rekening sekolompok penyelenggara negara.

Untuk itu, 1 Juni yang merupakan hari lahir Pancasila menjadi momentum membangkitkan ingatan kolektif bangsa, bahwa Pancasila merupakan kekuatan bangsa Indonesia untuk meraih kembali cita-citanya: mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Semakin jauh meninggalkan Pancasila, selalu ditandai dengan ketidakteraturan atau ketidaktertiban berbangsa dan bernegara. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan, reformasi yang ingin mengoreksi rezim sebelumnya, hasilnya justru kebablasan. Alhasil, pelaksanaan Pancasila semakin karut-marut, termasuk pemaknaan otonomi daerah yang luas. Eksesnya, muncul peraturan daerah yang dianggap tak sesuai UUD 1945. Oleh sebab itu, harus dievaluasi. Tahun lalu, ada 3.000 perda. Tahun ini naik 9.000 perda yang dievaluasi. Sebanyak 15.000 perda jadi target tahun 2012.

Keluhan yang sama dilontarkan Mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie. Dia mencatat sejumlah ketentuan seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang beberapa kali diperbarui, kini menjadi UU No 25/ 2007, juga tak sesuai Pancasila.

Menurut Kwik, UU Penanaman Modal memungkinkan perusahaan patungan swasta Indonesia dan asing menguasai bidang-bidang yang penting bagi negara dan hajat hidup rakyat. Sebut saja pelabuhan, produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik, telekomunikasi, penerbangan, air minum, dan kereta api.

Porsi kepemilikan sahamnya pun ditingkatkan. Kepemilikan bisa naik hingga 49 persen sebagaimana dalam UU No 6/1968. Tahun 1994 terbit lagi Peraturan Pemerintah Nomor 20, berisi perusahaan patungan tanpa menyebut porsi asing yang dapat melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat. Peraturan ini, sadar atau tidak, sangat merugikan bangsa Indonesia sebagai pemilik sumber daya alam yang berdaulat.

Sejatinya pemerintah menyadari otonomi daerah bisa lepas kendali. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pernah mengingatkan dalam tata pemerintahan, evaluasi semua peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah dan kabupaten menjadi tanggung jawab gubernur. Keputusan yang dibuat di tingkat provinsi menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri untuk mengevaluasi. Yang dikecualikan, semua peraturan menyangkut ekonomi keuangan menjadi kewenangan pemerintah pusat untuk mengevaluasi.

Masalahnya, lanjut Gamawan, undang-undang tentang otonomi daerah tidak mengatur sanksi bagi gubernur yang tidak melakukan kerjanya. Padahal, bupati/wali kota memiliki kewenangan yang sangat besar. Karena itu, undang-undang otonomi daerah mendesak direvisi bersama DPR.

Momentum 1 Juni sebagai peringatan Hari Lahir Pancasila seharusnya digunakan oleh penyelenggara negara untuk meReaktualisasi Pancasila, bagi para birokrat. Sebab setiap pandangan hidup atau ideologi tak bisa diindoktrinasikan sebatas upacara, tetapi perlu mengalami apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai proses ”pengakaran” (Reaktualisasi). Proses Reaktualisasi ini melibatkan tiga dimensi ideologis: keyakinan (mitos), penalaran (logos), dan kejuangan (etos).

Pada dimensi mitos, Reaktualisasi Pancasila diarahkan untuk meneguhkan kembali Pancasila sebagai ideologi negara. Pada sisi ini, bangsa Indonesia harus diyakinkan, seperti kata John Gardner, ”Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya pada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar.”

Reaktualisasi Pancasila diarahkan untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan daya juang agar Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial. Dalam kaitan ini, Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, serta menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.

Pancasila adalah dasar persatuan dan haluan kemajuan-kebahagiaan bangsa. Selama kita belum bisa membumikan nilai Pancasila dalam kehidupan nyata, selama itu pula bangsa Indonesia tidak akan dapat meraih kemajuan-kebahagiaan.

Reaktualisasi Pancasila merupakan suatu kemestian, betapapun hal itu merupakan pekerjaan yang sulit di suatu negeri yang dirundung banyak masalah. Namun, dengan semangat gotong royong yang menjadi nilai inti Pancasila, kesulitan bisa ditanggung bersama. Dalam membangkitkan semangat itu, diperlukan kepemimpinan yang dapat memulihkan kembali kepercayaan warga kepada diri dan sesamanya. Kekuasaan digunakan untuk menguatkan solidaritas nasional dengan memberi inspirasi kepada warga untuk mencapai kemuliaannya dengan membuka diri penuh cinta kepada yang lain.

Tidak ada komentar:

Dialog Antar Umat Beragama Tangkal Perpecahan Anak Bangsa

 Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah terus membangun dialog, silaturahim kebangsaan dan penguatan kerukunan umat beragama untuk...