6 Tabiat Luhur LDII , Invasi Budaya dari Negeri Seberang
Bila LDII memasyarakatkan 6 tabiat luhur di antara warganya, sejatinya tabiat itu bukan melulu disemaikan dalam kehidupan sehari-hari warga LDII. Tapi ke tingkat yang lebih tinggi: kehidupan berbangsa dan bernegara.
6 Tabiat Luhur LDII |
LDII berpikir bahwa sikap jujur, amanah, kerja keras dan berhemat, rukun, kompak dan kerjasama yang baik sudah tergalang lama dalam kehidupan warga LDII. Tapi rupa-rupanya tak juga dilaksanakan dalam kehidupan bernegara. Praktik 6 tabiat luhur itu semacam pengingat, yang diberikan LDII kepada Indonesia: bahwa dengan enam sikap itu Indonesia mampu menjadi bangsa yang bermartabat.
Tabiat luhur bukan sekadar hilang dengan meninggalkan ruang kosong bagi jiwa bangsa, tapi kehilangannya membuat jatuh harga diri Indonesia di mata dunia. Masyarakat Transparasi Internasional misalnya, menempatkan Indonesia sebagai bangsa terkorup di dunia dengan nilai 9 dari skala 10. Padahal pada 2009, peringkat Indonesia nomor 7. Ironisnya, justru ketika kampanye pemberantasan korupsi sedang didentangkan, malah timbul kasus Bank Century yang menyeret kepala negara, wakilnya, sampai menteri keuangan hingga partai politik.
Pada tataran individu, sikap kekeluargaan, gotong royong, dan saling menghargai menjadi luntur. Setiap orang selalu berpikir soal ego, kepentingan diri sendiri, dan tak peduli dengan etika. Inilah yang membuat bangsa Indonesia tersuruk-suruk menuju keadilan dan kemakmuran. Lantas siapa yang paling bertanggung jawab, ketika bangsa Indonesia lebih gemar mengadopsi nilai-nilai barat (westernisasi) ketimbang modernisasi?
Ada baiknya, bangsa ini melihat pokok masalah. Indonesia memang sedang diinvasi oleh peradaban informasi, yang memaksa segenap bangsa untuk selekas-lekasnya meninggalkan peradaban agraria dan industry sekaligus, tanpa melewati tahapan-tahapan adaptasi. Indonesia sedang dilanda patologi sosial – alias penyakit sosial – yang diakibatkan oleh budaya massa, yang menyerang setiap masyarakat industri. Budaya massa boleh dikata anak kandung dari media massa (film, televisi, surat kabar, dan radio) yang menyebar secara global dari Barat. Media massa menurut Lasswell, seorang pakar komunikasi massa, selalu memiliki fungsi sebagai transmission of culture atawa perantara budaya.
Akhlaq Mulia |
Dan begitulah, watak budaya massa selalu komersial dan popular dengan produk yang sifatnya massal. Ahli komunikasi massa, Micahel R Real yang menulis Mass Mediated Culture menyebut, budaya massal kebanyakan membawa nilai-nilai negatif. Uang menjadi ukuran, selalu menempatkan target khalayak, karena itulah budaya massal bersifat “murahan” dan dampaknya hanya sesaat. Misalnya, seks, kekerasan, horor, dan peperangan, yang biasanya dipaketkan dengan penjualan dan kebutuhan masyarakat industri.
Kenikmatan semu budaya massa membuat seluruh indera manusia diarahkan kepada hal yang sifatnya kebendaan alias materi. Materi dalam hal ini berkaitan dengan citra bukan sebagai kebutuhan. Akibatnya, orang berlomba-lomba memburu citra, bagaimanapun caranya. Yang berakibat egoisme yang mengalahkan nalar, moral, etika, kebersamaan, bahkan nilai-nilai luhur yang harus dijaga sebagai bangsa yang bermartabat.
Problema ini berlanjut, ketika budaya massa memasuki ranah ideologi, politik, sosial, dan budaya. Misalnya, kecenderungan media Barat yang ingin menunjukkan superioritas ideologinya, sebagai satu-satunya pandangn dunia yang menjanjikan kebebasan, keadilan, dan demokrasi. Sementara kekalahan ideologi komunis selalu menjadi pembenar bahwa Barat adalah yang terbaik, pemenang, dan benar. Demikian pula Islam yang digambarkan sebagai suatu yang terbelakang, barbar, dan anti modernisasi.
Barat menjual berbagai ideologinya melalui jurnal, buku, dan jaringan media internasional ke dunia ketiga. Sementara berita dari dunia ketiga dianggap bukan sebagai informasi yang penting, dan terpinggirkan, dan karena itu tak mungkin dijual dalam jaringan media internasional. Inilah invasi budaya yang dilakukan Barat terhadap negara-negara berkembang. Agar negara-negara berkembang kian tertinggal, karena tercerabut tabiat-tabiat luhurnya. Namun rupa-rupanya, bangsa ini juga belum sadar, dirinya terinvasi. Sedangkan yang sadar, diam-diam menikmatinya untuk memperoleh keuntungan besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar